Kamis, 05 Agustus 2010

KEPERCAYAAN & KEJUJURAN

Oleh: Udo Yamin Majdi


Selesai menggelar acara Volunteer Training, aku bersama Aa Fatih tidak langsung pulang ke Tafahna. Sebab, ada beberapa agenda lagi di Cairo. Diantaranya, mengisi acara Up Grading di IKMAL (Ikatan Mahasiswa Lampung) dan LBT (Leadership Basic Training) di PII (Pelajar Islam Indonesia). Aku dan anak sulungku itu, bermalam di sekretariat Pwk. Persis (Perwakilan Pimpinan Pusat Persatuan Islam) Mesir di Nasr City.

* * *

Siang menjelang Dhuhur, keesok harinya, hpku berdering. Aku ambil, lalu kudekatkan di telinga kanan. Di ujung sana, terdengar suara Andy, Ketua Umum PII, "Do, ini rute tempat training, antum nanti naik mobil eltramco Tagammu' Awwal, lalu turun di Syibrawy. Kalo udah di sana, antum miscall aja ana. Ntar kita jemput!"

Aku dan Aa Fatih meninggalkan sekretariat Pwk.Persis. Kami berdua naik mobil eltramco dari Mahattoh Gami' menuju Zahra. Di Mahattoh Asyir kami turun, kemudian naik mobil menuju Tagammu' Awwal. Selama dalam perjalanan, selain memandang gurun pasir di sisi kanan-kiri jalan, aku memperhatikan penumpang yang duduk di depanku. Ada yang baca koran Ahrom, ada yang melamun, ada yang tidur, dan lain sebagainya.

Tak berapa lama kemudian, mobil memasuki kawasan baru Mesir. Banyak vila bergaya Erofa mulai dibangun. Ada juga perumahan berlantai tiga, berbeda dengan di Nasr City yang rata-rata lima atau enam lantai. Prediksiku, lima atau sepuluh tahun akan datang, daerah ini akan banyak dihuni orang asing, seperti dulu di daerah Madrasah-Zahra yang dulu jarang orang Indonesia, kini banyak yang tinggal di sana. Apalagi di daerah Nasr City dari Madrasah hingga Bawwabat, saking banyaknya mahasiswa Indonesia yang tinggal, kami sebut Kampung Melayu.

"Turun sayang, kita udah sampai!" ajakku kepada Aa yang matanya sudah mulai sayup. Kami menunggu di dekat rumah makan Syibrawy. Andy dan panitia datang menjemput. Kami langsung menuju tempat acara LBT yang sudah berlangsung lima hari dari tujuh hari yang dijadwalkan. Kami sampai di flat tempat acara.

Sebelum aku mengisi acara, aku tanya Kortim (Koordinator Tim) instruktur perkembangan peserta. Aku minta DRH (Daftar Riwayat Hidup) dan sosiogram peserta. Dari sinilah, aku sedikit memahami para peserta. Sehingga aku bisa memilih metode penyampaian. Aku juga meminta silabus untuk melihat pokok bahasan dan indikator dari materi yang akan aku sampaikan.

Dengan basmalah, aku memasuki kelas pelatihan. Aku berusaha percaya diri, meskipun tanpa persiapan apapun, sebab aku diminta panitia mengisi LBT pada saat bertemu di acara Volunteer Training. Aku berusaha mengingat kembali bacaanku dan pengalaman hidupku untuk memahamkan para peserta tentang materi Komunikasi Efektif. Dengan metode partisipatoris, aku menjelaskan definisi, unsur, bentuk dan pembagian komunikasi. Bahkan di sela-sela menyampaikan materi, aku beri simulasi. Tak terasa, waktu 3 jam berakhir.

Karena aku akan mengisi acara Up Grading di IKMAL, aku langsung pamit. Ketika keluar pintu, aku tidak menemukan sepatu Aa Fatih. Aku bersama panitia, mencari setiap sudut flat, sampai di kamar mandi pun kami cari, ternyata tidak ada. Akhirnya, Aa pulang tanpa sepatu. Akibatnya dia tidak mau jalan, melainkan harus aku gendong. Tentu saja, membawa Aa belasan kilo dan tas di punggung, sedangkan cahaya matahari sangat panas, membuatku berkeringat dan haus. Aku minta Elman menggendong Aa, tapi Aa tidak mau.

Kami pun naik bus menuju Nasr City.

* * *

Di IKMAL, para anggota sudah berkumpul. Acara mulai. Seperti biasanya, dimulai dengan pembacaan kalam ilahi dan sambut-sambutan. Baru kemudian acara Pelantikan Dewan Pengurus IKMAL Periode 2010-2011. Ini periode kedua, setelah berdirinya IKMAL 4 Agustus 2009.

Perjalanan lahirnya IKMAL lumayan panjang. Dulu, mahasiswa Indonesia Mesir asal Lampung bergabung dengan KEMASS (Keluarga Masyarakat Sumatra bagian Selatan) meliputi Sumsel, Bengkulu, Bangka-Belitung dan Lampung. Karena mahasiswa asal Lampung mulai banyak, sejak akhir tahun 90-an, ingin memisahkan diri, namun baru terealisasi tahun lalu.

Aku mengisi acara Up Grading. Nuansa pelatihan, aku bawa dalam acara ini. Aku hanya sebatas fasilitator. Konsep andragogi, aku terapkan di sini. Sebab, 100% peserta adalah mahasiswa. Aku analogi organisasi sebagai sebuah kendaraan. Dari sini muncul beberapa pertanyaan ini: Di manakah posisi kita? Kita mau ke mana? Apa saja yang harus kita lakukan agar penumpang merasa nyaman? Dan seterusnya.

Aku berusaha membantu teman-teman untuk melihat masalah sekaligus menemukan solusinya. Aku berusaha memetakan persoalan organisasi yang berkutat dalam 4 hal ini: masalah leadership, manajemen, administrasi, dan struktur. Dari empat hal ini, muncul masalah turunan, seperti masalah komunikasi, masalah pendanaan, dan seterusnya.

Acara dari ba'da Asar ini berakhir tepat pada adzan Sholat 'Isya. Aku dan Aa Fatih pamit. Aku kembali berjuang, menggendong Aa dari Saqor Quraisy menuju Gami'. Aku berusaha merayu Aa agar mau berjalan, sebab selain membawanya berat, aku juga membawa plastik berisi sembako dari IKMAL, beratnya lebih dari 5 kilogram. Aa tetap tidak mau turun.

Aku tidak kehabisan akal. Aku tahu kelemahan anakku ini. Biasanya, dia akan mengalah, manakala aku memenuhi kemauannya. Aku pun bernegoisasi, "Aa mau apa?"

"Mau sepatu baru!" jawabnya.

"Gimana kalo sendal aja?" tanyaku, sebab aku tahu, aku tidak memiliki uang. Sebab, uangku habis membeli konsumsi untuk peserta Volunteer Training tadi malam. Panitia memang tidak merencanakan ada konsumsi makan untuk panitia, hanya diberi minum dan snack saja. Namun, perutku melilit karena dari siang hingga malam, aku belum makan. Aku kira, peserta pun demikian. Makanya, aku minta panitia untuk beli Kusyari dan Togin. Aku tidak ingin peserta kelaparan.

"Iya, sendal aja, tapi yang bagus buya!"

"Oke, buya beliin sendal bagus, tapi Aa jalan kaki ya?"

"Iya!" ujar anakku dan turun dari punggungku dengan semangat.

Aku ajak Aa Fatih ke tempat jualan sepatu. Niatku, hanya ingin tahu harganya dulu, baru setelah meminjam uang di Pwk Persis, aku akan membeli sendal itu. Aku sudah menyiapkan alasan kepada anakku, bahwa membeli sendal kami tunda, sebab aku tidak punya uang.

"Kenapa anakku tidak pakai alas kaki?" Tanya pedagang sambil menyodorkan sandal hitam yang ingin aku lihat.

Aa Fatih mencoba sandal itu. Aku lihat Aa senang. Aku pun menjawab pertanyaan sang pedagang, "Sepatu anakku hilang?"

"Hilang di mana?"

"Hilang di depan rumah teman!"

Aku sedikit ragu, untuk melepaskan kembali sandal di kaki anakku. Dia begitu senang. Namun, dengan terpaksa, aku berkata, "Sayang, sendalnya Aa lepas dulu. Buya sekarang enggak punya uang. Kita ke Pwk dulu, kita pinjam uang, baru kita ke sini lagi, beli sendal ini, gimana?"

"Enggak mau?!"

"Trus, kita bayar pakai apa?"

"Ini Aa punya uang!" katanya Aa sambil mengeluarkan uang 50 piester. Aku tersenyum. Uang yang aku berikan tadi pagi untuknya jajan, mana mungkin bisa membayar sandal seharga 5 pound itu.

"Ini enggak cukup sayang!"

"Pokoknya, Aa enggak mau lepasin sandal ini!!"

"Bentar aja sayang, ntar kita ke sini lagi!"

"Enggak mau!!"

Sang pedagang, meskipun tidak tahu dialog antara aku dan anakku, mungkin dia memahami bahwa aku meminta anakku melepaskan sandal itu. Dia pun bertanya, "Mengapa harus dilepas kembali, kan anakmu tidak ada alas kaki, langsung aja pakai, tidak perlu dibungkus?"

"Saat ini, aku tidak punya uang. Aku hanya ingin tahu harganya dulu!"

"Tidak masalah, pakai aja. Bayarnya bisa kapan saja, bisa besok, lusa atau kapan saja!"

"Saya bukan tinggal di Cairo, tapi tinggal di Tafahna dan jarang sekali ke sini!"

"Tidak masalah. Justru karena kalian tinggal di Tafahna, maka pakai aja dulu sendal ini. Masa kamu tega membiarkan anakku kami tanpa alas kaki?"

Aku diam. Aku menatap sang pedagang yang tidak aku kenal ini, begitu juga dia tidak mengenalku. Dia tersenyum. Dari pancaran mata dan senyumannya, aku melihat dia memang tulus ingin membantuku. Belum juga aku berbicara, dia kembali berkata, "Pakailah, aku percaya kepada kamu!"

Aku pun luluh. Aku tidak ingin mengecewakan niat tulus sang pedagang. Terlebih lagi, aku tidak ingin menghilangkan senyum di bibir anakku. Aku pun mengucapkan terima kasih dan pamit kepada pedagang itu. Aa Fatih pun, tidak mau aku gendong, bahkan tangannya tidak mau aku pegang, sebab dia berlari menuju Pwk dengan sandal barunya.

* * *

Satu jam kemudian. Aku datang ke tempat jualan sandal. Aku memaksakan diri meminjam uang 5 pound kepada teman di Pwk, sebab aku tidak mau mengkhianati kepercayaan pedagang itu. Dia telah memberikan kepercayaan kepadaku, maka aku pun harus memberikan kejujuran kepadanya.


* * *


Cairo, 1 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar