Minggu, 25 Juli 2010

Fadhalah Jatuh Cinta


Pada saat peristiwa Fathu Makkah (penaklukkan Mekkah oleh pasukan kaum muslimin dibawah pimpinan Rasulullah SAW), ada seseorang di Mekkah yang berniat membunuh Rasulullah. Orang ini bernama Fadhalah bin Umair al-Laitsi. Dia bermaksud membunuh Nabi Muhammad SAW ketika beliau sedang thawaf di Ka’bah.

Untuk melancarkan niatnya itu, Fadhalah mencoba mendekat ke Rasul yang sedang thawaf. Ketika mendekat, tiba-tiba Rasulullah SAW menegurnya, “Apakah ini Fadhalah?”

“Ya, saya Fadhalah wahai Rasulullah SAW” jawab Fadhalah.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Rasulullah SAW.

“Tidak memikirkan apa-apa. Aku sedang teringat Allah kok” jawab Fadhalah.

Mendengar jawaban Fadhalah itu, Rasulullah SAW tersenyum dan berkata, “Mohonlah ampun kepada Allah…”

Kemudian Nabi SAW meletakkan tangannya di atas dada Fadhalah sehingga hatinya menjadi tenang.

Dari peristiwa itu, Fadhalah mengatakan “Begitu beliau melepaskan tangannya dari dadaku, aku merasa tak seorang pun yang lebih aku cintai daripada Beliau.”

Setelah peristiwa itu menimpa Fadhalah, dia tidak jadi membunuh Rasulullah SAW dan segera pulang ke rumah. Ketika pulang ke rumah, dia melewati seorang wanita yang pernah dicintainya. Wanita itu memanggil dan mengajaknya berbicara. Tapi kemudian dari mulut Fadhalah keluar untaian bait-bait ini:

Dia berkata: Marilah kita ngobrol!
Tidak, jawabku.
Allah dan Islam telah melarangku
Aku baru saja melihat Muhammad
Di hari penaklukan, hari dihancurkannya semua berhala
Agama Allah itu sangat jelas dan nyata
Sedang kemusyrikan adalah kegelapan

Fadhalah jatuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Fadhalah jatuh cinta kepada Islam…. []

Sabtu, 10 Juli 2010

Fenomena Ponari

Bagaimanapun, Ponari adalah fenomena. Lihat saja pemberitaan di media massa. Semua sepakat menjadikan Ponari sebagai objek pemberitaan dan perbincangan yang begitu menarik. Setiap pakar diminta untuk ikut tampil berbicara. Dari sudut pandang agama, kesehatan, birokrasi, perlindungan anak, hingga antropologi budaya. Mau tidak mau itu semua membuktikan bahwa keberadaan dukun kecil Ponari memang sebuah fenomena. Namun sayangnya, tidak setiap fenomena itu selalu positif. Bukti nyata dari kasus Ponari ini adalah empat nyawa sudah melayang entah kemana. Ribuan bahkan puluhan ribu yang lainnya juga saat ini masih mengundi nyawa dengan niatan tulus untuk meraih kesehatan yang bak mimpi di langit sana. Apa yang terjadi dengan Indonesia kita ? Apakah fenomena ini masih menyisakan optimisme dalam hati kita semua ? Rubrik Indonesiana kali ini akan berusaha mengupasnya. Selamat membaca ! Islam memotivasi setiap orang untuk peduli dengan kesehatannya.
Fenomena orang-orang berbondong-bondong untuk berobat mengobati penyakitnya -sebagaimana terlihat dalam kasus ponari- secara umum adalah hal postif dalam Islam. Saya belum membicarakan 'ponari'nya, saya hanya merekam bahwa mereka para pasien ponari tersebut, memiliki sebuah keseragaman ; yaitu peduli terhadap kesehatannya. Tidak ingin berdiam diri saat digerogoti sebuah penyakit. Tidak ingin menunggu nasib ataupun menjemput ajal dalam kondisi sakit yang berkepanjangan. Mereka ingin mempertahankan hidup dari gangguan penyakit. Semua ini secara umum adalah mental positif yang sama sekali tidak bertentangan dengan Islam.
Islam adalah agama yang memotivasi umatnya untuk meningkatkan kualitas kesehatannya. Disebutkan dalam hadits bahwa : " orang mukmin yang kuat lebih baik lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang dhoif " (HR Ahmad). Islam sangat memahami bahwa dengan kondisi yang sehat, setiap individu akan lebih optimal dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya, baik untuk dunia dan lebih-lebih untuk akhiratnya. Bukan itu saja, Islam juga memerintahkan mereka yang sakit untuk segera berobat, bahkan memberikan motivasi dan harapan besar dengan menjamin bahwa setiap penyakit pastilah ada obat bagi kesembuhannya.
Dari Usamah bin Syarik, Rasulullah SAW bersabda : Berobatlah kalian semua, karena sesungguhnya Allah SWT tidaklah menurunkan sebuah penyakit kecuali juga menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit : yaitu penyakit tua." (HR Ahmad dan Ashabu Sunan)
Dengan demikian, sebenarnya 'semangat tulus' para pasien Ponari untuk memperbaiki kesehatan, mengobati penyakitnya, adalah sebuah potensi baik yang juga dihargai oleh Islam. Justru sebaliknya, Islam sangat mencela mereka yang ketika sakit justru duduk-duduk saja, menyerahkan diri pada nasib atau bahkan ajal menjemput. Sungguh semua itu bertentangan dengan kaidah umum perubahan di dunia ini, sebagaimana Allah SWT berfirman : " Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. ( QS Ar-Ro'd 11)

Islam mengajarkan secara tegas bahwa Allah SWT adalah satu-satunya yang bisa menyembuhkan penyakit.
Meskipun Islam menganjurkan seseorang untuk tetap berobat dengan menggunakan berbagai macam cara yang legal secara syariah dan medis, namun Islam secara tegas memisahkan antara obat dan kesembuhan. Bahwasanya pengobatan adalah wilayah usaha manusia dengan ilmu dan pengalamannya, yang semuanya dianjurkan dan dihargai oleh Islam, tetapi untuk kesembuhan itu adalah hak preogratif Allah SWT. Artinya tidak boleh seseorang itu meyakini bahwa obatlah yang menyembuhkan, atau seorang dokterlah yang menyembuhkan, melainkan mereka ini hanya menjalankan sebuah terapi atau usaha penyembuhan. Adapun 'eksekutor' sembuh tidaknya seorang yang sakit tetap dalam kuasa Allah SWT. Keyakinan seperti ini dalam bahasan ilmu Aqidah dikenal dengan Tauhidullah dalam Rububiyah dan Uluhiyahnya.
Disebutkan dalam Al-Quran ucapan Ibrahim as : Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku (QS Syuaro 80)
Karenanya, dalam kasus Ponari, mau tidak mau harus diakui adanya pergeseran keyakinan / aqidah diantara sebagian besar masyarakat yang ikut mengantri untuk mendapatkan air rendaman batu ponari. Sebagian mereka pastilah dengan mudah akan meyakini bahwa 'batu' itu merupakan obat penyembuh yang sesungguhnya. Keyakinan mereka telah bergeser –atau bahkan terjerembab- dengan meyakini hal yang semestinya masuk dalam delik kemusyrikan. Bahkan lebih jauh lagi, kini bukan saja batu, tapi hal-hal yang berbau 'ponari' diyakini mempunyai efek penyembuh yang juga tidak kalah dengan batu ponari. Walhasil, antrian dan perebutan kini bukan saja dalam menunggu rendaman batu ponari, tapi juga air comberan dekat rumah, lumpur, dan yang sejenisnya. Keyakinan semacam inilah, dalam Islam dianggap sebagai bencana yang sesungguhnya. Melebihi dari 'bencana' penyakit yang mereka derita selama ini. Dalam bahasa yang sederhana ; sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah sakit malah terjerumus ke arah syirik yang lebih berbahaya.

Islam melarang pengobatan yang tidak dapat dipahami secara medis maupun logika sederhana manusia.
Islam mempunyai dua standar pengobatan harus diikuti oleh umatnya. Pertama standar syariah, dan yang kedua adalah standar medis atau psikologis. Ketika berobat, seorang yang sakit harus menyadari terlebih dahulu bahwa terapi pengobatan yang dijalaninya tidak bertentangan dengan dua standar tersebut. Misalnya : ketika ia harus berobat dengan sesuatu yang haram, entah itu bahan dari babi, atau langsung sate ular, dan yang sejenisnya, maka otomatis pengobatan itu tidak memenuhi standar pengobatan dalam Islam, dan menjalaninya adalah bentuk pelanggaran syariah. Meskipun obat tersebut misalnya, telah diindikasikan mengandung zat yang bermanfaat untuk mengatasi sebuah penyakit.
Dari Ummu Salamah ra, Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah SWT tidak menjadikan kesembuhanmu ada dalam apa-apa yang diharamkan kepadamu " (HR Baihaqi, Ibnu Hibban)
Islam tidak hanya sekedar melarang tanpa memberikan alternatif solusi. Khazanah kekayaan pemikiran Islam telah memberikan sumbangan besar dalam dunia kodekteran modern hari ini. Bahkan, banyak hadits Rasulullah SAW juga mengungkapkan dan memberikan inspirasi terhadap berbagai ragam pengobatan saat ini. Dalam khazanah pemikiran Islam telah lama dikenal dengan At-Tiib An-Nabawi, yaitu pengobatan cara Nabi. Pengobatan nabi memperkenalkan bagaimana habbatussauda, madu, susu, dan juga sistem bekam adalah obat efektif bagi berbagai macam penyakit. Dan semua itu telah terbukti begitu jelas setelah melewati banyak penelitian di pakarnya. Bukan itu saja, istri beliau Aisyah ra juga dikenal sebagai pakar kesehatan di jamannya. Beliau menjadi pakar di bidang kedokteran karena suatu momentum yang sederhana. Yaitu ketika Rasulullah SAW terbaring sakit, banyak pakar pengobatan suku-suku arab yang berlomba mempresentasikan metode pengobatan mereka dihadapan Aisyah ra. Mereka menawarkan banyak obat dan khasiatnya. Dari situlah Aisyah ra merekam semua metode pengobatan arab yang terkenal dan menguasainya. Subhanallah.
Islam juga mengenal pengobatan non medis, menganjurkan dan mempraktekannya selama tidak bertentangan dengan aqidah. Misalnya, praktek ruqyah syar'iyah dan yang semacamnya. Islam juga menganjurkan pengobatan dengan terapi psikologis, seperti memberikan suggesti terhadap mereka yang sakit. Islam menganjurkan kita untuk menjenguk dan menghibur mereka yang sakit. Islam bahkan menjanjinkan remisi dosa pada setiap mereka yang sakit.
Nah, setelah ini semua, jika kita hubungkan dengan fenomena Ponari yang meyakini bahwa sebuah batu bisa menjadi obat efektif (mujarab) pada semua penyakit tanpa didukung dengan logika kedokteran sederhana manapun, apalagi diikuti dengan keyakinan bahwa Ponari dengan batunya itu lah " the man behind the revocery ", maka sejatinya metode pengobatan semacam Ponari ini sungguh jauh diluar wilayah ajaran Islam.
Hikmah dan Optimisme yang Tersisa
Setiap kejadian pastilah membuahkan sebuah pelajaran. Setiap pelajaran atau hikmah, haruslah diolah untuk menambah optimisme kita semua. Saya yakin, fenomena Ponari adalah salah satu yang patut kita ambil hikmahnya, dalam konteks pribadi, maupun sebagai umat dan bangsa. Diantara hikmah fenomena ini antara lain :

1. Fenomena Ponari teryata menjadi bahan instropeksi oleh banyak pihak. Dari sisi ulama, da'I, dan muballigh , berarti harus kembali mengatur langkah dan strategi agar dakwah tauhid dan anti kemusyrikan harus benar-benar diterima oleh masyarakat. Dari sisi birokrat, khususnya Departemen Kesehatan juga menyadari sepenuhnya bahwasanya layanan kesehatan selama ini ternyata belum begitu populer di tengah masyarakat. Bisa jadi karena biaya pengobatan yang begitu mahal, atau juga efektifitas obat yang sangat lambat dan meragukan.
2. Fenomena Ponari juga memberikan kita tentang sebuah budaya masyarakat yang instan,pragmatis dan berbau mistis. Ingin cepat sehat, cepat kaya, cepat kerja, cepat jodoh, cepat keturunan, pergilah ke dukun, paranormal dan sebagainya. Gambaran ini sangat diperlukan bagai setiap pihak yang ingin merubah masyarakat menuju peradaban yang lebih baik. Baik itu ormas, keagamaan, parpol, LSM, atau juga pemerintahan secara umum.
3. Ponari tidak pernah sendiri. Banyak yang lebih senior dari Ponari tersebar dari sabang sampai merauke hingga hari ini. Cover yang dipakai pun beragam, dari pengobatan alternatif, metafisika, dan lain sebagainya. Semua itu berbahaya bagi kehidupan umat dan bangsa. Banyak masyarakat mendatangi dukun-dukun itu tanpa mengetahul legalitasnya dalam agama. Karenanya, ketika isu Ponari menguat, kemudian diikuti dengan kecaman para ahli agama, bahkan juga Fatwa MUI misalnya, sedikit banyak akan memberikan 'wacana baru' bagi masyarakat bahwa pengobatan yang semisal itu sungguh tiada guna untuk diikuti. Sehingga harapannya akan berlaku hukum pasar, jika permintaan berkurang atau habis maka pasar akan mati dengan sendirinya.
4. Fenomena Ponari menantang mereka para cendekiawan, ilmuwan, khususnya mereka dibidang kesehatan, untuk membuktikan bahwa 'batu ponari' adalah tidak lebih dari batu biasa lainnya, atau bahkan membuktikan bahwa batu itu adalah batu istimewa yang memang mengandung unsur bermanfaat bagi kesehatan. Semua pembuktian tersebut akan sama-sama menghasilkan sisi positif bagi masyarakat kita.

Selasa, 06 Juli 2010

kematian

Jika kematian itu adalah sautu kebenaran yang pasti kita rasakan, maka mengapa kita seakan acuh-tak acuh saja padanya? Mengapa kita seakan melupakannya? Mengapa kesibukan menjalani kehidupan sementara di dunia ini menyebabkan kita seakan tidak maksimal dalam menghadapi kematian?

esibukan kita dalam menjalani kehidupan sementara ini, benar-benar telah memalingkan hati dan pikiran kita dari kematian; satu peristiwa besar yang pasti menimpa diri kita semua. Hal tersebut terbukti bahwa konsentrasi kita mengumpulkan harta, menambah jumlah tabungan bank, mencari berbagai sumber uang untuk merancang dan membangun rumah di dunia dan berbagai kebutuhan hidup lainnya melebihi konsentrasi kita merancang kematian itu sendiri. Padahal kematian adalah suatu kepastian. Hampir setiap hari kita melihat kematian. Sedangkan kematian adalah penentu keberhasilan atau kegagalan dalam perjalanan panjang kita menuju Allah Tuhan Pencipta alam.

Oleh sebab itu, mari kita fokuskan hidup kita untuk merancang kematian, dengan cara mendesain hidup ini semuanya hanya untuk Allah dan dijalankan sesuai aturan Allah dan Rasul-Nya. Berbahagialah orang-orang yang diberi Allah kemudahan untuk mendesain semua aktivitas hidupnya hanya untuk Allah dan dapat dijalankan sesuai aturan Allah dan Rasul Muhammad Saw. Sebaliknya, celakalah orang-orang yang memilih jalan hidupnya selain jalan Allah, semua aktivitas hidupnya bukan untuk Allah dan dijalankan di luar ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Kaum Muslimin rahimakumullah….

Sebelum kematian tiba, kita akan melewati suatu fase yang bernama sakratulmaut. Sakratulmaut adalah pintu gerbang kita menuju kematian. Sakratulmaut adalah peristiwa yang amat menakutkan, karena saat sakrtaulmaut tiba, tak seorangpun dapat membantu dan menolong kita, kendati saat kritis itu, istri, sanak saudara dan handai tolan sedang mengelilingi kita. Kita akan bergulat sendirian dengan sakratul maut itu di tengah keramain orang-orang yang kita cintai dan sayangi. Semua mereka hanya dapat menatap kita dengan pandangan mata yang hampa. Saat itulah kita akan merasakan langsung apakah kita termasuk orang yang telah merancang kematian atau bukan. Apakah kita termasuk orang yang siap menghadapi kematian atau bukan.

Sakratulmaut adalah bahasa Al-Qur’an yang terdiri dari dua kata “sakrotan”; pecahan dari kata : سكر – يسكر – سكرا (sakiro – yaskaru – sakran) yang berarti “mabuk atau teler”. Kata “maut”; pecahan dari kata : مات – يموت – موتا (maata – yamuutu - mautan) yang berarti “mati”. Maka Sakratulmaut berarti “kondisi mabuk menghadapi saat kematian’.

Sakratulmaut juga dapat diakatakan sebagai warming up (pemanasan) kematian. Karena kematian itu sulit, berat dan amat sakit maka diperlukan pemanasan. Di samping itu, sebagaimana kehidupan pertama manusia memerlukan proses dan tahapan, maka kematian juga memerlukan proses dan tahapan agar bisa memasuki alam lain bernama Barzakh; sebuah alam yang jauh lebih besar dan sangat berbeda situasi, kondisi dan lingkungannya dengan bumi saat kita hidup di dunia.

Sakratulmaut adalah sesuatu yang ditakuti manusia. Faktanya, berbagai riset dan upaya telah dilakukan manusia untuk menghindarinya seperti, menciptakan obat-obatan untuk memperpanjang umur. Hal tersebut digambarkan Allah dalam firman-Nya :

وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ

Saat datanglah Sakaratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. (Q.S. Qaf: 19 )

Pertanyaan berikutnya ialah, apakah manusia mampu menghindari Sakratulmaut? Jawabannya tentu ‘mustahil’. Karena Sakratulmaut adalah voucher manusia untuk masuk ke Alam Barzakh, tempat penginapan mereka yang ketiga yang sudah disiapkan oleh Pencipta, Raja dan Pemilik alam semesta ini, yakni Allah Rabbul ‘Alamin, setelah kehidupan dalam rahim ibu mereka dan kehidupan di atas bumi. Mereka tidak akan dapat mengelak dan lari dari keharusan melewati sakratulmaut, sebagaimana mereka tidak bisa mengelak dan menghindar dari ketentuan dan kehendak-Nya ketika mereka diciptakan sebelumnya dari tidak ada menjadi ada.

Sebab itu, sebelum Sakratulmaut datang menghampiri kita, Allah sebagai Pemilik dan Pengendali jagad raya mengajak kita memikirkan dan menyaksikan kehendak, keputusan dan sistem-Nya tentang Sakratulmaut yang telah menjadi kenyataan sehari-hari yang kita saksikan seperti yang tercantum dalam surat Al-Waqi’ah berikut ini:

فَلَوْلا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ (83) وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ (84) وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لا تُبْصِرُونَ (85) فَلَوْلا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ (86) تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (87)

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, (83) padahal kamu ketika itu menyaksikan (orang yang sedang sekarat itu) (84) dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihatnya (85) maka kalaulah kamu tidak tunduk (pada Kehendak Allah) (86) (pastilah) kamu (mampu) mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya semula) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Q.S. Al-Waqi’ah: 83 – 87)

Apa gerangan yang akan Anda lakukan ketika nyawa telah berada di tenggorokan? Anda sedang berada di persimpangan jalan yang majhul (tidak diketahui). Kemudian, penggambaran Al-Qur’an yang inspiratif yang melukiskan semua dimensi sikap dalam sentuhan-sentuahan yang cepat, mengungkapkan semua kondisi yang sedang dihadapi, latar belakangnya dan semua yang akan menginspirasikannya… Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat (orang yang sedang sekarat itu) dan Kami (dengan malaikat-malaikat) lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihatnya…

Kita seakan mendengar suara tenggorokan orang yang sedang sekarat dan melihat tatapan wajahnya, merasakan bencana dan kesulitan (yang dihadapinya) lewat firman Allah, “Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan”. Sebagimana kita juga bisa melihat tatapan wajah yang tak berdaya, putus asa yang dalam raut muka orang-orang yang hadir (di sekitar orang sedang sekarat itu) lewat firman-Nya “ padahal kamu ketika itu melihat (orang yang sedang sekarat itu)”.

Di sini, pada momen ini, sungguh ruh (nyawa) itu telah selesai dengan urusan dunia. Ia telah meninggalkan bumi dan seisinya. Ia akan menyambut dunia yang belum pernah ditempatinya…Ia tidak akan mampu lagi menguasai sesuatu selain dari apa yang pernah ia tabung sebelumnya… berupa kebaikan atau kejahatan yang dilakukannya…

Di sini, ia melihat, tapi ia tidak mampu membicarakan apa yang dilihatnya… Ia telah terpisah dari orang-orang yang ada di sekitarnya dan apa saja yang ada di sekelilingya…Hanya fisiknya yang bisa disaksikan oleh yang hadir di sekitarnya…Mereka hanya melihat begitu saja sedangkan mereka tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi dan tidak punya kuasa terhadapnya barang sedikitpun….
Di sini, kemampuan manusia terhenti… Ilmu pengetahuan manusia juga tidak berguna sebagaimana peran manusia juga tidak ada…Di sini, mereka mengerti, tapi tidak bisa membantahnya. Mereka lemah,…. lemah…..terbatas….terbatas
…. Di sini layar diturunkan tanpa mereka lihat, tanpa sepengetahuan mereka dan tanpa kemampuan bergerak/berbuat.

Di sini, yang berperan hanya Qudrat Ilahiyah (Kekuasaan Allah)… Ilmu Ilahi…(Ilmu Allah)….Semua urusan murni milik Allah tanpa sedikitpun keraguan, tanpa bantahan dan tanpa ada kiat-kiat apapun. “dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu”. Di sini, terjadi kebesaran sikap yang membesarkan Kebesaran Allah… Kewibawaan dan kehadiran-Nya –Subhanahu Wata’ala – sedangkan Dia hadir setiap waktu. Ungkapan itu membangunkan perasaan akan suatu hakikat (kenyataan) yang dilupakan manusia.. Maka tiba-tiba, majlis yang menghadiri kematian merasakan seramnya (suasana) karena didominasi oleh ketakutan, kehadiran dan kebesaran-Nya…Yang mendominasi ialah ketidakberdayaan, ketakutan, keterputusan dan perpisahan…

Dalam kondisi liputan perasaan yang gemetaran, berdebar, putus asa, dan duka lara, datanglah tantangan (Keputusan Allah) yang memotong semua perkataan dan mengakhiri semua perdebatan : “. Maka jika kamu tidak tunduk (pada Kehendak Allah), (pastilah) kamu (mampu) mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” Jika sekiranya masalahnya seperti yang kamu katakan : “sesungguhnya tidak ada perhitungan dan tidak ada balasan”, berarti kamu orang-orang yang bebas tanpa ada pembalasan dan perhitungan? Jika demikian, kamu mampu mengembalikan nyawa – yang sudah sampai di tenggorokan itu – agar kamu hindarkan ia dari kondisnya yang sedang menuju perhitungan dan balasan itu…Padahal kamu berada di sekitarnya dan sedang menyaksikannya, sedangkan ia berlalu menuju dunia yang besar, dan kamu diam saja dan tidak berdaya…

Di sini, gugurlah semua alasan, habislah semua argumentasi, punahlah semua kiat dan habislah bantahan…Dan tekanan hakikat (kenyataan) ini membebani diri manusia. Sebab itu, mereka tidak akan mampu bertahan,(dengan kondisi pembangkangannnya kepada Tuhan Pencipta) kecuali jika mereka tetap menyombongkan diri tanpa bukti dan argumentasi”

Kaum Muslimin rahimakumullah….

Terkait dengan sakratulmaut, manusia terbagi kepada tiga golongan. Pertama, golongan “Muqarrabin”, yakni orang yang dekat dengan Tuhan Pencipta ketika berada di dunia. Kedua, “Ash-habul Yamin” (Golongan Kanan) yang merupakan bagian dari ‘Muqorrobin”. Ketiga, golongan “al-mukadzi-dzibin adh-dhallain”, yakni orang-orang yang menentang dan menantang kebenaran Tuhan Pencipta dan sistem hidup yang datang dari-Nya dan tersesat dari jalan yang benar. Tentang ketiga golongan ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya :

فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ (88) فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ (89) وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ (90) فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ (91) وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ (92) فَنُزُلٌ مِنْ حَمِيمٍ (93) وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ (94) إِنَّ هَذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ (95) فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ (96)

“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), (88) maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta Syurga kenikmatan.(89) Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, (90) maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan.(91) Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang menolak (kebenaran Tuhan Pencipta dan apa saja yang datang dari-Nya) lagi sesat, (92) maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, (93) dan dibakar di dalam Neraka.(94) Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar.(95) Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar (96)” (Q.S. Al-Waqi’ah: 88 – 96)

Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir terkemuka menjelaskan ayat-ayat tersebut di atas dengan penjelasan yang sangat indah dan menarik. Alangkah baiknya kita simak penjelasan Beliau berikut ini : “ Inilah tiga suasana yang dialami oleh manusia ketika sakratulmaut. Adakalanya ia termasuk kaum ‘muqorrobin’ atau termasuk golongan yang ada di bawah mereka, “Ash-habul Yamin” , yaitu yang termasuk golongan kanan, dan ada yang teremasuk orang-orang yang mendustakan kebenaran, yang sesat dari petunjuk dan tidak tahu menahu tentang perintah Allah (al-mukadzi-dzibin adh-dhallain).

Itulah sebabnya Allah SWT berfirman, “Adapun jika dia termasuk orang yang didekatkan kepada Allah.” Mereka adalah orang-orang yang setia mengerjakan hal-hal yang diwajibkan dan di sunnahkan. Dan, meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan serta sebagian dari yang diperbolehkan. ”Maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta Syurga kenikmatan”. Dan, para Malaikat akan menyampaikan berita gembira itu ketika sakratulmaut tiba, sebagaimana yang diterangkan di dalam hadits Al-Barra’, Para Malaikat rahmat akan mengatakan, ‘hai ruh yang baik dalam jasad yang baik, kamu telah memakmurkannya, keluarlah menuju ketenteraman, rezeki, dan Tuhan yang tidak murka’.

Ruh dan Raihan dalam ayat ini berarti rahmat, rezeki, kegembiraan, dan kesenangan. “Dan Syurga kenikmatan”.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Imam Syafii’ dari Imam Malik dari Zuhri dari Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik dari Ka’ab bahwa Rasul saw, bersabda, “ Ruh seorang Mu’min itu berupa (bagaikan) burung yang bergelantungan pada pohon Syurga sebelum Allah mengembalikan ruh itu ke jasadnya ketika membangkitkannya kembali.” (pada hari kiamat nanti).

Abul Aliah mengatakan, “Tidak akan dipisahkan nyawa seorang muqarrabin sebelum dihadirkan kepadanya satu dahan dari kenikmatan Syurga, lalu ruhnya itu disimpan di sana.” Di dalam sebuah hadits shaheh dikemukakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ruh-ruh para Syuhada (orang-orang yang mati sedang berjihad menegakkan agama Allah) itu dalam tembolok burung hijau yang berterbangan di taman-taman Syurga kemana saja mereka kehendaki, kemudian bermalam pada pelita-pelita yang bergelantungan pada Arasy.”

Allah SWT berfirman, “Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan.”. Yaitu, jika orang yang sedang mengalami sakratulmaut itu termauk golongan kanan, “maka keselamatan bagimu, karena kamu termasuk golongan kanan.” Yaitu, para Malaikat akan menyampaikan kabar gembira itu kepada mereka. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka, ’Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan Syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’ Kamilah pelindung-pelindungmu di dalam kehidupan dunia dan di Akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan di dalamnya kamu memperoleh pula apa yang kamu minta. Sebagai hidangan dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fush-shilat : 30 – 32)

Imam Bukhari mengatakan, “Maka salam sejahtera bagimu,” yaitu disampaikan salam kepadamu bahwa kamu termasuk golongan kanan.

Allah SWT berfirman, “ Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia akan mendapatkan hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam Neraka.” Yaitu, bila orang yang tengah mengalami sakratulmaut itu termasuk golongan yang mendustakan kebenaran dan sesat dari jalan petunjuk, “maka dia mendapatkan hidangan dari air yang mendidih,” Yaitu cairan yang akan melelehkan isi perut dan kulit-kulit mereka. ” Dan dibakar di dalam Neraka,” yaitu dia akan ditempatkan di dalam api Neraka yang akan menyelimutinya dari semua arah.

Kemudian Allah berfirman, “Sesungguhnya ini adalah suatu keyakinan yang benar,” yang tidak diragukan lagi. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya. Dan dia adalah berita yang menjadi saksi. “Maka bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Maha Besar.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa U’qbah bin Amir Al-Juhani berkata, “Maka bertasbihlan dengan nama Tuhanmu yang Maha Besar, (subhana Robiyal ‘Azhim)‘ Rasulullah mengatakan, ‘Jadikanlah ayat ini bacaan ruku’ kamu.’ Dan ketika turun wahyu kepada beliau, ‘Maka sucikanlah Tuhanmu yang Maha Tinggi,’(subhana Robbiyal A’la). Rasulullah mengatakan, jadikanlah ayat ini sebagai bacaan sujud kamu.”

Kaum Muslimin rahimakumullah….

Setelah kita melewati “Sakratulmaut” berarti kita sedang berada pada batas terakhir dari perjalanan kita di dunia dan di batas awal memasuki dunia baru yang bernama Barzakh. Untuk memasuki dunia baru tersebut terlebih dulu kita harus membuka pintu masuknya. Pintu masuknya itu bernama “Kematian”. Ya, Kematian… Itulah fase yang harus kita lewati setelah melewati fase Sakratulmaut. Dengan kematian itu kita berhak mendapatkan tempat di alam Barzakh.

Kematian adalah sesuatu yang ditakuti banyak orang. Kendati pada kenyataanya, tidak ada seorangpun yang dapat menghindari atau lari dari kematian itu. Siapapun dia, Presidenkah, Rajakah dia, Konglomerat kah dia, Jendral berbintang lima kah dia, di mana dan kapanpun mereka berada. Mereka pasti mati. Selama mereka memiliki nyawa, pasti akan mengalami kematian. Hal ini telah menjadi ketentuan dan kehendak Tuhan Pencipta sebagaimana di jelaskan-Nya dalam surat Ali Imran ayat 185 dan Surat An-Nisa’ ayat 78 berikut ini :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ.....(185)

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati…” (Q.S. Ali Imran: 185)

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ (78)

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…. (Q.S. An-Nisa’ : 78)
Kematian sudah ditentukan bagi setiap yang bernyawa. Kematian tidak perlu dicari, karena ia yang mencari setiap yang bernyawa. Kematian tidak bisa diwakilkan, dipindahkan atau take over oleh yang tidak berhak, karena petugas kematian, yakni Malakul Maut yang diberikan tugas khusus mengurusinya belum pernah menerima sogokan dan tidak akan pernah. Karena semua Malaikat melakukan semua apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, tanpa sedikitpun disimpangkan apalagi dimanipulasi, seperti yang Allah jelaskan :

قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ (11)

“Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” (Q.S.As-Sajdah (32) :11)

Demikian juga, bahwa kematian akan datang pada saatnya atau ketika ajal (batas)nya habis. Kematian tidak bisa diundurkan kendati barang sedetik. Tidak sedikit orang yang mencoba untuk mengundurkan kematian, tapi usahanya gagal dan sia sia belaka. Karena kematian adalah pintu masuk tempat tinggal sementara ketiga kita, yakni alam Barzakh. Maka, kitapun harus memasukinya, karena jatah menginap di penginapan di dunia sudah habis serta tempat kita di dunia sudah dibooking Malaikat untuk penghuni lain selain kita. Allah telah mengingatkan kita tentang hal ini dan apa yang harus kita lakukan sebelum kematian (maut) itu menjemput kita, seperti tercantum dalam firman-Nya berikut ini :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (9) وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ (10) وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (11)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.(9) Dan belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Tuhan Penciptaku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh?" (10) Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (11)” (Q.S. Al-Munafiqun : 9 – 11)

Nah, sebelum kita dijemput Kematian (Maut) yang waktunya Allah rahasiakan… Ia bisa datang saat ini, satu detik setelah ini, satu menit setelah ini, satu jam setelah ini, satu hari setelah ini, satu pekan setelah ini, satu bulan setelah ini, atau satu tahun setelah ini dan seterusnya….Sebelum Kematian menjemput kita, cobalah gunakan kecerdasan Spiritual, Emotinal dan Intellectual yang Allah berikan kepada kita untuk menangkap rahasia di balik Kematian itu. Lalu, tanya diri kita dengan jujur seputar pertanyaan-pertanyaan berikut :

1. Siapa yang menghadirkan saya ke dunia ini?

2. Apakah saya sudah mengenal Tuhan Pencipta saya dengan baik?

3. Apakah saya sudah mengenal Kitab Petunjuk Hidup (al-Qur’an) yang diturunkan-Nya untuk saya?

4. Apakah saya sudah mengenal seorang manusia bernama Muhammad Bin Abdullah yang diutus-Nya untuk menjelaskan isi Kitab Petunjuk Hidup tersebut?

5. Apakah saya akan hidup di dunia ini selama-lamanya?

6. Tidak cukupkah kematian manusia yang saya lihat setiap hari di atas muka bumi ini dengan berbagai sebab, seperti gempa bumi, tsunami, angin topan, banjir bandang, perang, sakit jantung, darah tinggi dan bahkan ada yang tidak sakit sama sekali, menjadi pelajaran berharga bagi diri saya dan saya juga pasti akan mengalaminya, masalahnya hanya tinggal waktu?

7. Bagaimana pandangan saya terhadap kehidupan dunia ini?

8. Bekal apa yang sudah saya siapkan untuk menghadapi kehidupan setelah kematian?

9. Apakah saya sudah mengevaluasi hidup saya sejak masa baligh (dewasa) sampai saat ini?

10. Sudahkah saya memiliki 10 Katrakter Mulia yang menjadi syarat kesuksesan hidup saya di
dunia dan di akhirat nanti, yakni aqidah bersih, ibadah benar, akhlak kokoh, wawasan luas, memiliki skil kehidupan, fisik sehat dan kuat, mampu mengendalikan syahwat, urusan teratur, manajemen waktu baik dan memiliki tanggung jawab sosial.